Makin Kritis, ICW Sebut Jokowi Manjakan Kartel Bisnis Karena Pilih Sosok-sosok Ini Jadi Menteri
RIAU24.COM - Indonesia Corruption Watch (ICW) makin getol mengkritik Presiden Jokowi. Selain menuding Jokowi sengaja akan menghancurkan KPK, ICW juga menuduh Jokowi memanjakan kartel politik terkait penyusunan menteri-menteri yang duduk di Kabinet Indonesia Maju.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan dalam konferensi pers di kantor ICW, Jakarta, Minggu (29/12/2019) mengatakan, sikap Jokowi yang kembali menunjuk figur-figur yang banyak mendapat sorotan dari publik mengindikasikan sikap tersebut.
ICW mencatat, dari 34 Menteri, empat pimpinan lembaga dan 12 wakil menteri, Jokowi juga turut menempatkan individu-individu yang terafiliasi dengan sosok tertentu dalam jabatan lain seperti staf khusus.
Kurnia mencontohkan Tito Karnavian yang dipilih sebagai Menteri Dalam Negeri. Padahal menurutnya, Tito tak pantas menjadi menteri karena telah gagal menuntaskan kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan.
ICW juga menilai Yasonna Laoly adalah figur yang bermasalah karena merupakan kader PDIP. "Semestinya, jabatan-jabatan strategis seperti Kemenkumham tidak diisi figur yang terafiliasi dengan partai politik," kata Kurnia.
Sosok lain yang dipermasalahkan ICW adalah Jaksa Agung ST Burhanuddin yang masih berkerabat dengan kader PDIP. “Kami nilai, setiap sektor-sektor penegakan hukum tidak elok diisi oleh orang yang bergabung dalam parpol,” tuturnya.
Yang cukup ironis adalah, Jokowi sama sekali tak melibatkan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam penyusunan kabinet.
Dengan proses demikian, hal itu menjadi bukti bahwa Jokowi tak memiliki komitmen untuk menyusu kabinet yang bersih dan propemberantasan korupsi.
Selain itu, Kurnia juga menuding Kabinet Jokowi-Ma’ruf cenderung memanjakan kartel bisnis.
Ia menyebut, hal itu terbukti dengan sosok seperti Luhut Pandjaitan, Erick Thohir, Airlangga Hartarto hingga Prabowo Subianto. “Akibatnya, rezim Jokowi jilid II rawan tersandera kepentingan bisnis. Fenomena state capture besar kemungkinan akan marak terjadi,” tegas Kurnia.***