Trump Klaim China Ingin Bayar Teroris untuk Serang Pasukan AS di Afghanistan
RIAU24.COM - Presiden Donald Trump mengeklaim bahwa dia menerima laporan intelijen pada bulan ini yang menyatakan China ingin membayar teroris untuk menyerang pasukan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan.
Klaim presiden itu diterbitkan New York Times hari Rabu. Media itu menegaskan bahwa klaim itu tidak didukung oleh bukti.
Tidak jelas apakah informasi dari komunitas intelijen AS menunjukkan bahwa China telah membayar hadiah atau apakah ada serangan terhadap orang Amerika yang terjadi di Afghanistan.
Menurut laporan tersebut, pejabat intelijen AS mengumpulkan sejumlah besar informasi yang banyak di antaranya ternyata menyesatkan atau salah.
Trump diberi informasi tersebut dalam pengarahan tertulis pada 17 Desember 2020.
Klaim soal hadiah China datang beberapa bulan setelah Trump mengatakan penilaian CIA bahwa Rusia membayar Taliban untuk menyerang pasukan AS di Afghanistan sebagai "tipuan".
Pada bulan Juni lalu, dilaporkan bahwa pejabat intelijen AS mengatakan Rusia menawarkan hadiah kepada militan Taliban untuk membunuh pasukan Amerika di Afghanistan. Trump menyangkal bahwa dia pernah diberi pengarahan tentang intelijen seperti itu, karena itu tidak naik ke levelnya, dan menyebut penilaian itu sebagai "tipuan".
Menurut New York Times, yang pertama kali melaporkan berita tersebut pada bulan Juni, Trump diberi "pengarahan tertulis" pada bulan Februari yang mengatakan bahwa militer Rusia membayar hadiah kepada militan untuk membunuh pasukan AS.
Seorang sumber mengatakan informasi tentang hadiah Rusia untuk membunuh pasukan AS dimasukkan pada akhir Februari, sementara sumber yang lain mengatakan secara spesifik pada 27 Februari.
Namun, seorang jenderal top AS di Timur Tengah kemudian meragukan kisah tentang hadiah Rusia untuk Taliban.
“Saya merasa sangat mengkhawatirkan, saya hanya tidak menemukan bahwa ada hubungan penyebab di sana,” kata kepala Komando Pusat AS Jenderal Kenneth McKenzie kepada wartawan pada Juli.
"Kasus intelijen tidak terbukti pada saya. Belum cukup terbukti bahwa saya akan membawanya ke pengadilan, dan Anda tahu bahwa hal itu sering kali benar dalam intelijen medan perang. Anda melihat banyak indikator, banyak di antaranya mengganggu, banyak di antaranya yang Anda tindak lanjuti, tetapi dalam kasus ini tidak cukup (bukti)," paparnya.
"Saya mengirim orang-orang intelijen kembali untuk terus menggali, dan saya yakin mereka terus menggali sekarang, tapi saya tidak cukup melihat di sana untuk memberi tahu saya bahwa sirkuit ditutup dalam hal itu."
Trump sebelumnya mengatakan intelijen tentang dugaan hadiah yang ditawarkan mata-mata Rusia kepada militan Taliban tidak kredibel.
Rusia juga membantah keterlibatannya, menggambarkan laporan itu sebagai tuduhan "tidak berdasar dan anonim".
Presiden terpilih Joe Biden mengecam Trump awal tahun ini dengan menyebut kelambanan Presiden sebagai "pengkhianatan".
"Seluruh kepresidenannya telah menjadi hadiah untuk (Presiden Rusia Vladimir) Putin, tetapi ini di luar batas," kata Biden pada bulan Juni.
“Ini adalah pengkhianatan terhadap tugas paling suci yang kita pikul sebagai sebuah bangsa untuk melindungi dan melengkapi pasukan kita ketika kita mengirim mereka ke jalan yang berbahaya. Ini adalah pengkhianatan terhadap setiap keluarga Amerika dengan orang yang dicintai melayani di Afghanistan atau di mana pun di luar negeri."
Seperti dicatat oleh Axios, berita tentang laporan intelijen tentang China muncul beberapa minggu sebelum masa kepresidenan Trump berakhir. Trump diyakini tidak membahas laporan tersebut dengan Presiden China Xi Jinping.
Sumber: CNNIndonesia