Covid-19 Belum Usai, Dunia Tengah Bersiap dengan Ancaman yang Lebih Ngeri
RIAU24.COM - Pandemi Covid-19 masih melanda, dunia pun harus dihadapkan pada sebuah ancaman baru. Ancaman itu yakni soal perubahan iklim.
Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya emisi karbon sehingga meningkatkan tingkat suhu bumi. Tentunya, ini akan berdampak buruk bagi Bumi dan manusia.
Penelitian terbaru dari Amerika Serikat (AS) menyebutkan jika tidak ada perubahan, maka 95% permukaan laut Bumi menjadi tak layak huni pada 2100. Penelitian tentang perubahan iklim ini telah dilakukan sejak abad ke-18. Mereka pun memprediksi bagaimana emisi karbon mempengaruhi dunia pada 2021.
Sebagian besar kehidupan laut didukung oleh permukaan laut yang dicirikan oleh suhu air permukaan, keasaman, dan konsentrasi mineral arogonit yang dibutuhkan mahkluk laut guna membuat tulang atau cangkang.
Namun dengan meningkatnya tingkat CO2 (karbon dioksida) di atmosfer, setidaknya dalam tiga juta tahun, ada kekhawatiran suhu permukaan laut mungkin menjadi kurang bersahabat dengan spesies yang hidup di sana, seperti dikutip dari Nature World News
Laut yang lebih panas, lebih asam, dan memiliki lebih sedikit mineral yang dibutuhkan bagi kehidupan laut untuk berkembang menjadikan laut tidak layanan huni bagi mahkluk laut.
Menurut penulis utama dari penelitian ini Katie Lotterhos dari Pusat Ilmu Kelautan Universitas Northeastern, perubahan komposisi lautan sebagai akibat dari polusi karbon kemungkinan akan mempengaruhi semua spesies permukaan.
Salah satu dampak perubahan iklim adalah matinya karang. Saat El Nino tahun 2016, air hangat mengancam terumbu karang di Great Barrier Reef (GBR).
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat jumlah bencana, seperti banjir dan gelombang panas (heatwave), akibat perubahan iklim meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir.
Tidak hanya itu, deretan bencana ini juga menewaskan lebih dari 2 juta orang dan menelan kerugian total US$ 3,64 triliun atau sekitar Rp 51.981 triliun (asumsi Rp 14.200/US$).
Dalam laporan terbarunya, organisasi di bawah naungan PBB itu mengatakan mereka melakukan tinjauan paling komprehensif tentang kematian dan kerugian ekonomi akibat cuaca, air, dan iklim ekstrem yang pernah dihasilkan.
Ini mensurvei sekitar 11.000 bencana yang terjadi antara 1979-2019, termasuk bencana besar seperti kekeringan 1983 di Ethiopia, peristiwa paling fatal dengan 300.000 kematian, dan Badai Katrina di Amerika Serikat (AS) pada 2005 yang membuat kerugian US$ 163,61 miliar.
Laporan tersebut menunjukkan tren yang semakin cepat, dengan jumlah bencana meningkat hampir lima kali lipat dari tahun 1970-an hingga dekade terakhir. Ini menambah tanda-tanda bahwa peristiwa cuaca ekstrem menjadi lebih sering karena pemanasan global.