Perlindungan Hukum Bagi Hak-Hak Narapidana Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama
Abstraks
Banyak warga binaan Lembaga Pemasyarakatan yang mengeluh dengan adanya kabar bahwa dirinya telah diceraikan oleh suami atau isterinya. Keterbatasan dalam menghadiri persidangan sangatlah menjadi bentuk kecemasan tersendiri bagi warga binaan. Bahkan hal tersebut dapat menjadikan dampak negatif terhadap psikologi warga binaan. Menerima putusan yang diluar espektasi terpidana adalah konsekuensi yang harus diterima, sedangkan ditambah dengan adanya perceraian antara suami isteri akan menambah beban berat bagi yang bersangkutan. Ada 3 (tiga) persoalan penting dalam penelitian ini: Pertama, apa sajakah keterbatasan yang dialami Narapidana sebagai Warga Binaan dalam menghadapi gugatan perceraian di Pengadilan Agama? Kedua, bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak keperdataan Narapidana yang digugat cerai? Dan ketiga, bagaimana peranan Pemerintah dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan tahanan atau narapidana yang berada dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan, khususnya saat menghadapi gugatan perceraian? Data dalam penelitian ini didapat melalui Library Research dan Field Research. Data yang didapat tersebut dianalisis secara mendalam dengan metode Narrative Content Analysis. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bengkalis dan Kota Dumai, Provinsi Riau. Pertimbangan atas pemilihan 2 daerah tersebut, karena memiliki Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang warga binaannya relatif banyak, serta banyaknya kasus Gugatan Perceraian yang melibatkan Narapidana sebagai Tergugat. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan : Pertama, Tahanan ataupun Narapidana yang sedang menjalani masa hukumannya didalam Lapas, hak-haknya termasuk hak keperdataan diatur dan di jamin dalam regulasi baik berupa UU maupun PP, seperti dalam Bab IV bagian kesatu PP no. 58 Tahun 1999, pasal 14 UU no. 12 tahun1995, serta pada pasal 51 dan 52 PP no. 32 Tahun 1999. Kedua, belum ada ketentuan dalam peraturan perundangan yang mengatur tentang Tahanan atau Narapidana untuk dapat menghadiri persidangan perceraian. Sehingga hal ini yang menjadi acuan bagi pihak Lapas untuk tidak memberikan Tahanan atau Narapidana hak untuk menjalani proses perkara perdata yang sementara dihadapi. Ketiga, Kepala Lapas atau Rutan boleh mengambil kebijakan terhadap Narapidana untuk mengikuti persidangan perceraian namun dengan tetap melalui mekanisme sidang tim pengamat pemasyarakatan serta pengawalan Polisi. Ataupun melalui opsi persidangan secara virtual didalam lapas atau rutan.
Kata Kunci: Narapidana, Perceraian, Perlindungan Hak.
1. Pendahuluan
Keadaan seorang narapidana merupakan suatu keadaan yang secara mendasar tidak pernah diinginkan oleh setiap orang, bahkan bagi seorang laki-laki yang telah bekeluarga karena dengan keadaannya sebagai seorang narapidana akan membuat terhalangnya kewajiban seorang suami kepada istrinya, salah satunya ialah kewajiban memberikan nafkah. Namun terkadang bagi seorang suami dalam memenuhi kebutuhan kehidupan diri dan keluarganya, melakukan kesalahan maupun kekhilafan yang terkadang membuatnya harus berurusan dengan hukum di negara ini dan bahkan apabila telah terbukti bersalah maka seorang suami yang melakukan kesalahan tadi harus menjalani hukuman masa pidana yang disebut seorang narapidana.
Pembinaan di LP menekankan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang bertujuan untuk menjadikan Narapidana dapat diterima kembali oleh masyarakat dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang dilakukannya. Dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan, menyatakan bahwa : “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Narapidana yang yang ditempatkan LP terkadang dianggap tidak mempunyai hak apapun. Mereka terkadang diperlakukan secara tidak manusiawi karena dianggap telah melakukan suatu kesalahan ataupun kejahatan sehingga perbuatan mereka harus dibalas di LP. Hal ini bisa menimbulkan penderitaan fisik dan juga penderitaan psikis, karena mereka kehilangan kemerdekaannya dalam bergerak serta kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia (Hak Asasi Manusia).
Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis divisi kemasyarakatan dibawah Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tunduk kepada regulasi UU Pemasyarakatan dan PP Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Selama menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami, maka para suami yang terpidana jelas mendapatkan berbagai macam kendala, atau bahkan sangat sulit untuk menunaikan kewajiban nafkah baik nafkah materi maupun nafkah batin kepada para istrinya, diantaranya disebabkan oleh keterbatasan ruang, waktu dan segala tindakan para suami terpidana selama mereka menjalani masa pidananya, hal ini jelas terjadi karena merupakan hukuman bagi mereka karena berbagai kesalahan dan kelalaian yang mereka lakukan, namun disisi lain peranannya sebagai suami masih harus tetap dijalani dengan berbagai macam cara semaksimal mungkin harus mereka fikirkan untuk menunaikan kewajiban nafkah kepada para istri-isrinya karena status mereka masih tetap sebagai sepasang suami istri.
Banyak warga binaan Lembaga Pemasyarakatan yang mengeluh dengan adanya kabar bahwa dirinya telah diceraikan oleh suami atau isterinya. Keterbatasan dalam menghadiri persidangan sangatlah menjadi bentuk kecemasan tersendiri bagi warga binaan. Bahkan hal tersebut dapat menjadikan dampak negatif terhadap psikologi warga binaan. Menerima putusan yang diluar espektasi terpidana adalah konsekuensi yang harus diterima, sedangkan ditambah dengan adanya perceraian antara suami isteri akan menambah beban berat bagi yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Penulis merumuskan 3 (tiga) problem ilmiah yang menarik, yang dirasa perlu dan penting untuk diteliti. Pertama, apa sajakah keterbatasan yang dialami Narapidana sebagai Warga Binaan dalam menghadapi gugatan perceraian di Pengadilan Agama? Kedua, bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak keperdataan Narapidana yang digugat cerai? Dan ketiga, bagaimana peranan Pemerintah dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan tahanan atau narapidana yang berada dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan, khususnya saat menghadapi gugatan perceraian?
Menjawab problem-problem di atas adalah penting, guna mendeskripsikan secara runtut keterbatasan-keterbatasan yang dialami Narapidana sebagai Warga Binaan dalam menghadapi gugatan perceraian di Pengadilan Agama, menjelaskan analisa yuridis tentang penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak keperdataan Narapidana yang digugat cerai, dan memberikan penjelasan kritis dan saran kongkrit terhadap peranan Pemerintah dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan tahanan atau narapidana yang berada dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan, khususnya saat menghadapi gugatan perceraian.
2. Literatur Review
Penelitian hukum membutuhkan Teori Hukum sebagai pisau analisanya. Untuk menjawab pertanyaan dalam permasalahan dipakai beberapa kerangka teori yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, dengan kerangka pemikiran bahwa sistem hukum berkaitan erat dengan struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum sebagai mana yang dikemukakan Lawrence M. Friedman. Berdasarkan sistem ini, diketahui ada masalah hukum dalam perlindungan hak-hak Terpidana, khususnya ketika menjadi Tergugat pada perkara Gugatan Perceraian.
Untuk mengatasinya dikemukakan beberapa teori, yaitu teori Positivisme Hans Kelsen. Jika efektivitas hukum dalam masyarakat berkaitan erat dengan sistem hukum, maka teori Positivisme dengan pendekatan sistem hukum akan berelasi secara signifikan dengan pembangunan hukum, yang dijelaskan Mochtar Kusumaatmaja dalam teori Hukum sebagai Sarana Pembangunan.
Sedangkan menurut William C. Chambliss dan Robert B. Seidman terdapat tiga komponen utama pendukung bekerjanya hukum dalam masyarakat yaitu: (1) Lembaga pembuat peraturan, (2) Lembaga penerap peraturan, (3) Pemegang peranan.
Satjipto Rahardjo dengan Hukum Progresifnya menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus diganti, ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan dalam skema hukum.
Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.
Menurut Jimly Asshiddiqie partisipasi masyarakat mendorong perubahan, salah satu perubahan adalah diterapkannya penegakan keadilan bagi Narapidana agar terlindungi hak-haknya berhadapan dengan Gugatan Perceraian.
Dalam penelitian ini, Penulis juga memanfaatkan teori tentang Keadilan. Robert Reiner pernah menggambarkan perdebatan tentang keadilan sebagai suatu „essencially contested concept’. Pemahaman yang tepat tentang apa itu „keadilan‟ memang rumit dan abstrak, terutama bila dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang beragam (Robert Reiner; 2002:17). Sedangkan Plato mengganggap keadilan sebagai bagian dari virtue/kebajikan (Burhanudin Salam; 1997:117), dan Cicero hanya menilai seseorang sebagai “baik” dilihat dari perilaku keadilannya. Menurutnya, ada tiga kebajikan moral yaitu: keadilan, pengendalian diri dan sopan santun (E. Sumaryono; 1995:90).
Aristoteles menerangkan keadilan dengan ungkapan “justice consists in treating equals equally and unequalls unequally, in proportion to their inequality.” Untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional (O. Notohamidjojo; 2011:70).
Berangkat dari pendapat Aristoteles tersebut, dalam teori modern dikenal pandangan bahwa hasrat akan persamaan dalam bentuk perlakuan harus membuka mata bagi ketidaksamaan dari kenyataan-kenyataan.
John Locke, Rosseau, Immanuel Kant, dan John Rawls merupakan sejumlah pemikir yang memperdebatkan hakikat keadilan. Secara umum, para penulis tersebut menyadari masyarakat hukum tidak akan berjalan tanpa segala hak dan kewajiban yang ditimbulkannya. Tanpa adanya keadilan, orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain. Keadilan memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan memenuhi janjinya (Agus Yudha Hernoko; 2008:40).
John Rawls mengemukakan teori keadilan yang mengkritik teori-teori John Locke, Rosseau, dan Immanuel Kant karena ketiganya cenderung bersifat utilitarianisme dan instuisionisme. Jeremy Bentham dan John Stuart Mill dikenal sebagai pencetus dan pengembang utilitarianisme yang kemudian juga dikritik oleh Robert Nozick dan Ronald Dworkin (Andre Ata Ujan; 1999:21). Jika Rawls menyebut utilitarianisme sebagai pandangan yang menilai baik buruknya tindakan manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi tindakan tersebut bagi manusia, maka Dworkin menyebutnya sebagai teori “goal-based theory” dan menganggapnya telah gagal dalam menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan azas manfaat daripada azas hak, dan karenanya utilitarianisme tidak tepat dijadikan basis bagi konsep keadilan (Raymond Wacks; 1995:191).
Utilitarianisme cenderung menganggap bahwa kebahagiaan setiap orang adalah sama. Kepuasan yang umumnya dipahami dalam arti kepuasaan material, diangkat menjadi ukuran yang dianggap valid dan mengikat. Sehingga seolah-olah kepuasan tidak pernah dapat dikalkulasi secara matematis. Padahal dari aspek moral, dengan lebih mengutamakan azas manfaat dan mengesampingkan azas hak, tampaknya utilitarianisme mempunyai tujuan baik, yakni berupaya melalui pendekatan teleologis, menjembatani jurang antara prinsip hak dan prinsip manfaat, namun dalam praktiknya paham ini gagal memainkan peranannya. Beberapa kritikus menilai utilitarianisem tidak mampu menghadapi dua jenis permasalahan moral: hak dan keadilan (Manuel G. Velasquez; 2005:77).
Rawls menulis bahwa tidak adil mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang hanya demi keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi masayarakat secara keseluruhan. Ia beranggapan sikap tersebut bertentangan dengan keadilan yang menghendaki prinsip kebebasan yang sama bagi semua orang. Keputusan sosial yang berkonsekuensi bagi semua anggota masyarakat harus dibuat atas dasar hak daripada atas dasar manfaat (Andrea Ata Ujan; 1999:18).
Berkaitan dengan manfaat sosial, keadilan harus dipahami dalam arti bahwa keuntungan sosial juga harus dibukakan peluangnya bagi orang-orang yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya, dan bukan hanya milik orang-orang yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja. Tetapi, “The different principle” tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik, yang disebut sebagai reciprocal benefits (Lord Lloyd of Hampstead & M.D.A. Freeman; 1985:414). Misalnya, seorang pekerja yang terampil tentunya akan lebih dihargai daripada pekerja yang tidak terampil. Di sini keadilan sebagai fairness sangat menekankan azas resiprositas namun tetap memperhatikan perbedaan-perbedaan objektif di antara anggota masyarakat. Jadi, prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula.
Teori keadilan “The different principle” milik Rawls kemudian dikritik karena membuka peluang intervensi pemerintah untuk melanggar hak seseorang. Prinsip ini juga mengorbankan usaha dan kegigihan orang dalam mencapai taraf kesejahteraan tertentu, justeru dikesampingkan demi kepentingan mereka yang tidak beruntung. Walau begitu, menurut pendukungnya, teori keadilan Rawls memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan kekurangannya.
Telah lama disadari, bahwa equity (kepatutan) diperlukan untuk melengkapi keberlakuan keadilan. Equity dapat didefenisikan sebagai kebajikan yang mendorong manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk berbuat secara rasional menurut akal sehatnya (L.B. Curzon, 1967:4). Equity dalam pelaksanaannya tidak berlawanan dengan hukum, bahkan pengaruhnya semakin kuat dalam penyelesaian sengketa ketika aspek hukum tidak mengaturnya.
Kelalaian dalam praktek, dapat merubah wujud keadilan yang seharusnya berwatak kebajikan (virtue), menjadi bentuk pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Karakter keadilan adalah objektif, zakelijk dan umum, berarti keadilan yang demikian itu mutlak, memaksa dan dalam pelaksanaannya terlalu abstrak, sehingga tidak mempertimbangkan situasi keadaan person-person serta terlalu menyamaratakan. Kualitas individu serta kondisi-kondisi tertentu seharusnya juga menjadi perhatian tanpa mereduksi keadilan itu sendiri, malahan justeru menyempurnakan keberlakuannya. Karena itu, keadilan dalam prakteknya dikoreksi dan disandingkan dengan equity (kepatutan). Equity sangat mempertimbangkan aspek-aspek penting yang melingkupi suatu kasus, yaitu itikad baik, maksud para pihak, situasi atau keadaan-keadaan, dan lain-lain (O. Notohamidjojo, 2011:13).
Dalam sistem civil law, prinsip-prinsip equity tercakup dalam azas-azas itikad baik, kepatutan dan kelayakan atau kepantasan. Yurisprudensi yang merumuskan penyalahgunaan hak, yang semula dibatasi pada pelanggaran undang-undang, kemudian didasakan pada hukum, dan pada perkembangan terakhir berdasarkan equity. Dalam hal ini hakim dituntut untuk memperhitungkan situasi dan keadaan yang melingkupi mereka yang melakukan pelanggaran. Pertimbangan-pertimbangan atas dasar equity ini diharapkan mengarahkan hakim pada putusan yang sedail-adilnya berdasarkan kepatutan, et aequo et bono.
Pasal 1339 BW mencontohkan implementasi prinsip equity, yaitu: “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
Sebelum itu, Pasal 1338 ayat 3 BW mengatur bahwa, “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Contoh lainnya, adalah penerapan Pasal 1365 BW melalui putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, dalam kasus lindenbaum-cohen yang memutuskan : “yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang (1) melanggar hak orang lain; atau (2) bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; atau (3) bertentangan dengan kesusilaan; atau (4) bertentangan dengan kecermatan yang patut harus diperhatikan dalam lalu lintas mesyarakat terhadap diri dan barang orang lain” (J.H. Niewenhuis, 2012:116).
Sebelum munculnya putusan ini, perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigdaad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 BW diinterpretasi secara sempit hanya sebatas perbiuatan melanggar undang-undang (onwetmatige daad). Interpretasi ini trekesan sangat formalistik, karena yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum hanyalah sebatas yang sudah diatur dalam undang-undang. Sedangkan di luar pengaturan undang-undang meskipun merugikan orang lain bukan merupakan perbuatan melanggar hukum. Interpretasi yang sempit ini mengakibatkan terusiknya rasa keadilan masyarakat. Interpretasi teleologis-ekstensif terhadap Pasal 1365 BW pada dasarnya merupakan penerapan prinsip equity yang akhirnya mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum.
Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah.
Tesis dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar - yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Ini merupakan akibat wajar dari tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan obyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum menyatakannya atau tidak. Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis (Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, 1400 H: 102).
Pendirian Mu`tazilah tentu mendapat tentangan. Kaum Asy`ariah menolak gagasan akal manusia sebagai sumber otonomi pengetahuan etika. Mereka mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh untuk menilai Allah berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan manusia. Bagi kaum Mu`tazilah tidak ada cara, dalam batas-batas logika biasa, untuk menerangkan hubungan kekuasaan Allah dengan tindakan manusia. Lebih realistis untuk mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan hasil kehendak-Nya, tanpa penjelasan atau pembenaran. Namun, penting untuk membedakan antara tindakan manusia yang bertanggung jawab dan gerakan–gerakan yang dinisbahkan kepada hukum-hukum alam. Tanggung jawab manusia bukan merupakan hasil pemilihan bebas, suatu fungsi yang, menurut Mu`tazilah, menentukan cara bertindak yang dihasilkan. Namun hanya Allah semata-mata yang menciptakan segala tindakan secara langsung. Tetapi, dalam beberapa tindakan, suatu kualitas tindakan sukarela digantikan kehendak Allah, yang menjadikan seseorang sebagai wakil sukarela dan bertanggung jawab. Karenanya, tanggung jawab manusia merupakan hasil kehendak ilahiah yang diketahui melalui bimbingan wahyu. Kalau tidak, nilai-nilai tidak memiliki dasar selain kehendak Allah yang mengenai nilai-nilai itu (Al-Gazali, 1412 H : 21).
Konsepsi Asy`ariah tentang pengetahuan etika ini dikenal sebagai subyektivisme teistis, yang berarti bahwa semua nilai etika tergantung pada ketetapan-ketetapan kehendak Allah yang diungkapkan dalam bentuk wahyu yang kekal dan tak berubah. Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat-ayat Al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendah ilahiah di muka bumi. Di satu pihak, al-Quran berisikan ayat-ayat yang mendukung penekanan Mu`tzilah pada tanggung jawab penuh manusia dalam menjawab panggilan bimbingan alamiah maupun wahyu. Di lain pihak, juga memiliki ayat-ayat yang dapat mendukung pandangan Asy`ariah tentang kemahakuasaan Allah yang tak memberi manusia peranan dalam menjawab bimbingan ilahiah. Betapapun, Al-Quran mempertimbangkan keputusan dan kemahakuasaan ilahiah dalam masalah bimbingan.
Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal mempunyai implikasi-implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan eksistensi kapasitas kemauan dalam jiwa manusia (Q.S. Al-Syam: 7), dan membuktikan tanggung jawab manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka bumi. Nampak bahwa Al-Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi diturunkan, dan dengan demikian menganggap mereka semua secara bersama-sama bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan: “Manusia adalah umat yang satu; maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Ia menurunkan bersama mereka Kitab denga benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan” (Q.S. Al-Baqarah : 213).
Berdasarkan bimbingan universal, maka dapat dibicarakan tentang dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia di dalam Al-Quran. Ayat-ayat tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal dan obyektif yang membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab kepada Allah. Dengan kata lain, perintah-perintah moral tertentu jelaslah didasarkan pada watak umum manusia dan dianggap sebagai terlepas dari keyakinan-keyakinan spiritual tertentu, meskipun semua bimbingan praktis pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, yaitu, dari Allah. Karena itu, penting untuk menekankan dalam konteks al-Quran, bahwa gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan mapannya tatanan sosial, karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif universal yang mendarah daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat penting artinya, Al-Quran mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan yang disamakan dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang mengatasi masyarakat-masyrakat agama yang berlainan dan memperingatkan umat manusia untuk tampil dengan perbuatan-perbuatan baik: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu (umat religius) Kami berikan aturan dan jalan (tingkah laku). Apabila Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (berdasarkan pada aturan dan jalan itu), tetapi, (ia tidak melakukan demikian). Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Oleh karena itu, berlomba-lombalah (yaitu, bersaing satu samalain) dalam berbuat baik. Karena Allah-lah kamu semua akan kembali, lalu Ia akan memberitahukan kepadamu (kebenaran) mengenai apa yang kamu perselisihkan itu” (Q.S. Al-Maidah : 48).
Terhadap suatu asumsi yang jelas dalam ayat ini bahwa semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan tertentu, yang diakui secara obyektif, tak soal dengan perbedaan keyakinan-keyakinan religius. Cukup menarik, manusia yang idael disebutkan sebagai menggabungkan kebajikan moral tersebut dengan kepasrahan religius yang sempurna. Bahkan, “barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati” (Q.S. Al-Baqarah:112).
Jelaslah, disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan antara keadilan obyektif dan teistis, dimana keadilan obyektif diperkuat lagi oleh tindakan-religius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif universal, manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk akal untuk mengatakan bahwa Al-Quran menunjukkan sesuatu yang sama dengan pemikiran barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan positif dalam masyarakat yang berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi. Karena Al-Quran mengakui keadilan teitis dan obyektif, maka mungkin untuk mengistilahkannya keadilan natural dalam arti yang dipakai oleh Aristoteles, yaitu suatu produk dari kekuatan natural bukan dari kekuatan sosial.
Mengakui Aristoteles, para sarjana seringkali menyamakan keadilan Ilahiah dengan keadilan natural, tetapi, tidak seperti pakar-pakar hukum natural yang memperhatikan hubungan keadilan dengan masyarakat, faqih-faqih memusatkan usaha mereka pada konsep keadilan dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan dan menghubungkannya dengan nasib manusia. Alim-alim tersebut berpendapat bahwa keadilan Ilahiah merupakan tujuan akhir dari wahyu Islam, yang diungkapkan dalam bentuk awalnya dalam hukum-hukum Islam yang suci (Al-Syatibi, t.t.: 121).
3. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum dengan metode pendekatan Sosio-Yuridis. Pendekatan Sosio-Yuridis dipakai untuk melihat proses bekerjanya hukum dalam tataran implementasi yang berkaitan dengan sosial budaya, ekonomi dan politik.
Studi ini merupakan studi hukum, karena secara ontologis substansi yang dikaji dalam studi ini merupakan bagian dari sistim hukum, yakni komponen prosedural hukum (dalam hal ini perlindungan hukum bagi hak-hak Narapidana sebagai Tergugat dalam perkara Gugatan Perceraian). Tipe kajian dengan fokus yang demikian itu hanya bisa dipahami dan dijelaskan secara lebih baik dalam tradisi riset kualitatif.
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, metode pengkajian hukum adalah cara untuk mencari jawaban yang benar mengenai permasalahan tentang hukum. Maka konsep hukum yang jelas, akan menentukan metode yang tepat dan layak dipakai.
Menurut Soerjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip dari tata cara pemecahan suatu masalah, sedang penelitian adalah suatu pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia yang dihadapi dalam melakukan penelitian.
Bambang Waluyo menegaskan, bahwa penguasaan metode penelitian akan bermanfaat secara nyata bagi seorang peneliti dalam melakukan tugas penelitian. Peneliti akan dapat melakukan penelitian lebih benar sehingga hasil yang diperoleh tentu berkualitas prima.
Soerjono Soekanto membedakan antara data yang diperoleh dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer/data dasar, sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.
Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup: pertama, bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti Norma/Kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan (seperti hukum adat), yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku (seperti KUHP atau Wetboek van Strafrecht). Kedua, bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. Ketiga, bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
Karena itu, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Sedangkan penelitian hukum yang terutama meneliti data primer, dinamakan penelitian hukum sosiologis atau empiris.
Penelitian hukum Normatif mencakup penelitian tentang asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar, yang digolongkan sebagai data sekunder, yang mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai dengan dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Seorang peneliti, harus menilai data sekunder tersebut secara seksama. Di dalam penilaian tersebut peneliti dapat mempertanyakan apakah data sekunder tersebut dapat dipercayai atau tidak. Selain itu, taraf pemutakhiran data sekunder tersebut perlu dinilai, walaupun sebagaimana dinyatakan oleh Robert Ross, bahwa kriteria kebaruan tidak berlaku dalam semua kasus karena di beberapa bidang tanggal sumber tidak penting. Bahkan, dalam penelitian sejarah, dokumen yang lebih tua mungkin lebih berharga. Namun, di bidang-bidang seperti sains dan teknologi, kemutakhiran sangat penting dalam banyak hal. Bahkan dalam disiplin ilmu seperti sastra dan filsafat mungkin ada ide-ide baru dan wawasan segar yang signifikan (Robert J. Ross & C.A. Hamilton & B.K. Mbenga, 2010: 4).
Dalam penelitian hukum Normatif/kepustakaan, mungkin saja peneliti-peneliti terdahulu kurang menelaah hubungan-hubungan antara unsur-unsur tertentu, atau pendekatan yang pernah digunakan ternyata kurang lengkap. Dari hal ini, jelaslah bahwa kegunaan mempelajari data sekunder tidaklah sedikit. John F. Runcie menyatakan:
“There are number of procedural reasons for investigating the available literature before starting one’s own project and the most important one is to see if another investigator has already done your work for you. Discovering whether or not you are too late, however, is not the only reason for searching the literature. As we suggested above, other studies on subjects similar to the one you are pursuing may suggest hypotheses for you study. You may discover as valuable way to organize your data after you have seen how another person has oragnized similar data. Finally, it is possible that you will find that no other work has been done on your subject and that the “field” is open for you.” ( John F. Runcie, 1980 : 16).
(ada sejumlah alasan prosedural untuk menyelidiki literatur yang tersedia sebelum memulai proyek sendiri dan yang paling penting adalah untuk melihat apakah penyidik lain telah melakukan pekerjaan tersebut. Akan tetapi, mengetahui apakah kita terlambat atau tidak, bukanlah satu-satunya alasan untuk mencari literatur. Penelitian lain tentang objek penelitian yang mirip dengan yang kita kejar mungkin menyarankan hipotesis untuk dipelajari. Kita mungkin menemukan cara yang berharga untuk mengatur data, setelah melihat bagaimana orang lain mengatur data serupa).
Data dalam penelitian ini didapat melalui Library Research dan Field Research. Data yang didapat tersebut dianalisis secara mendalam dengan metode Narrative Content Analysis.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bengkalis dan Kota Dumai, Provinsi Riau. Pertimbangan atas pemilihan 2 daerah tersebut, karena memiliki Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang warga binaannya relatif banyak, serta banyaknya kasus Gugatan Perceraian yang melibatkan Narapidana sebagai Tergugat.
Di Pengadilan Agama Bengkalis ada 6 kasus, sedangkan di Pengadilan Agama Dumai ada 9 kasus perkara Perceraian dengan Narapidana sebagai Tergugat.
4. Pembahasan
Narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena telah melakukan suatu tindak pidana. Sesuai pengertian tersebut, orang yang dinamai narapidana hilang sebagian kemerdekaannya untuk sementara dan diberi hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Karena telah hilang sebagian kemerdekaannya, maka suami yang berstatus sebagai narapidana tidak bisa memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai seorang suami kepada istrinya. Maka pada keadaan yang demikian, tidak jarang seorang istri meminta cerai kepada suaminya karena hak-hak dan kewajiban yang harus diberikan oleh suaminya tidak terpenuhi.
Pasal 19 huruf (c) PP No 9 Tahun 1975 mengatur bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Hal tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Memang kesannya betapa tidak manusiawinya seorang istri jika suaminya dipenjara kemudian si istri mengajukan perceraian. Harus juga diingat bahwa selama mendekam di penjara, suami atau istri juga tidak bisa menjalankan kewajiban-kewajibannya terlebih jika harus menunggu dalam waktu yang tidak sedikit.
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur Perceraian sebagai ketentuan fakultatif, bahwa perkawinan dapat putus dikarenakan kematian, perceraian, dan atas putusan dari Pengadilan. Sehingga secara yuridis arti dari perceraian dimaknai sebagai putusnya perkawinan, yang berakibat terhadap putusnya hubungan sebagai suami isteri.
Sedangkan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa alasan yang dapat dijadikan untuk perceraian adalah:
-
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
-
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
-
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
-
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
-
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
-
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga;
Selain itu, Pasal 116 huruf (g) dan (h) Kompilasi Hukum Islam menambahkan dua alasan yang dapat digunakan sebagai alasan perceraian yaitu:
-
Suami menlanggar taklik talak;
-
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga;
Alasan sebagaimana disebutkan di atas bahwa harus menjadi pertimbangan Majelis Hakim pemeriksa perkara dalam mengadili perkara perceraian. Seperti alasan perceraian dalam huruf c yang berbunyi: “Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung” akan menjadi suatu sorotan yang penting dalam pertimbangan Majelis Hakim. Khususnya pada perkara dengan alasan ini banyak ketidakadilan yang terjadi. Terbukti dengan perkara perceraian dengan alasan suami atau isterinya dalam masa tahanan. Sehingga kemungkinan ketidakhadirannya dalam persidangan terjadi meskipun telah dipanggil secara sah dan patut. Sehingga oleh karena ketidakhadirannya dan tanpa mewakilkan kepad kuasanya maka Majelis Hakum akan memutus perkara tersebut secara verstek. Keterbatasan pihak Tergugat menghadiri persidangan mengakibatkan tidak terpenuhinya asas keadilan bagi tahanan atau warga binaan dalam membela hak nya di persidangan.
Aparat penegak hukum khususnya dalam memahami sengketa perdata harus menyadari adanya kekosongan hukum (vacum of law) dalam konteks penegakan keadilan pada hukum acara perdata. Tahanan atau narapidana yang berada dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan secara konstitusi telah dirampas kemerdekaannya sehingga secara tidak langsung kehilangan kemerdekaannya.
Kehilangan kemerdekaan secara konteks konstitual dapat dimaknai sebagaimana Pasal 5 huruf (f) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu kehilangan kemerdekaan menjadi salah satu asas dalam rangka sistem pembinaan masyarakat.
Pada pasal tersebut disebutkan bahwa "kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan" yang artinya Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam lingkungan dan pembinaan Lembaga Pemasyarakatan untuk dan dalam jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya (Bruggink, 1999: 17).
Warga binaan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan meskipun telah kehilangan kemerdekaannya sebagaimana disebut di atas namun tetap mendapatkan hak-haknya. Hak-hak yang diperoleh seperti layaknya manusia mencakupi hak perdata yang tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga, atau rekreasi. Intinya bahwa meskipun telah dinyatakan kehilangan kemerdekaannya ada kewajiban bagi Lembaga Pemasyarakatan untuk dapat menjamin seluruh haknya terpenuhi. Hak-hak keperdataan sebagaimana penjelasan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengikat dengan hak keperdataan. Selain daripada itu, hak-hak narapidana juga dituangkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa: Narapidana berhak :
-
melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
-
mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
-
mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
-
mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
-
menyampaikan keluhan;
-
mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
-
mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
-
menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
-
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
-
mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
-
Baca juga: Untuk Rakyat Banyak
mendapatkan pembebasan bersyarat;
-
mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
-
mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dikaitkan dengan hak-hak narapidana tersebut di atas salah satunya adalah mendapatkan “mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. perlu adanya perluasan makna khususnya yang mencakupi hak-hak keperdataan yang diperoleh oleh warga binaan. Khusunya pada perkara perdata yang telah didaftarkan di Pengadilan, Ketua Majelis pemeriksa perkara memiliki kewajiban untuk memanggil para pihak. Namun senyatanya pada perkara perceraian, Tergugat atau Termohon dialamatkan sesuai dengan identitas Kartu Tanda Kependudukan. Sedangkan Tergugat atau Termohon berada dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga oleh karenanya Jurusita atau Jurusita Pengganti mengantarkan relaas panggilan tidak bertemu langsung dengan Tergugat atau Termohon, yang mengakibatkan pada sidang pertama Tergugat atau Termohon tidak hadir dipersidangan, meskipun panggilan telah diteruskan ke Kantor Kelurahan setempat. Oleh karenanya, ketidakhadiran Tergugat atau Termohon dan juga tidak menyuruh orang mewakilinya hadir di persidangan, maka Majelis Hakim tentu dalam pemeriksaan perkara mendasar pada Pasal 125 HIR/149 RBG dengan gugatan patut untuk dikabulkan tanpa kehadirannya (verstek) kecuali bila tenyata menurut pengadilan itu, bahwa gugatannya tidak mempunyai dasar hukum atau tidak beralasan.
Tahapan pemeriksaan perkara perdata meliputi, upaya perdamaian (mediasi), pembacaan gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, dan pembacaan putusan. Suatu narasi formiil dalam persidangan yang harus dipatuhi dan tidak dapat dielakkan. Setiap tahapan tersebut memiliki konsekuensi dan menjadi hak bagi setiap pihak yang berperkara dalam membela haknya dalam persidangan.
Tahapan persidangan sebagaimana yang diatur dalam HIR atau Rbg harus mendasar pada aspek keadilan bagi tahanan atau narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan. Selain daripada hak-hak yang dijelaskan di atas, tahanan memiliki hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak menerima kunjungan dari keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya.
Pada Pasal tersebut selain keluarga, maka tahanan berhak mendapatkan kunjungan dari penasihat hukum atau orang tertentu lainnya, orang tertentu lainnya dalam penjelasan pasal tersebut dimaknai antara lain : handai taulan, rohaniwan.
Dalam rangka penegakan hak keadilan dan asas perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) maka perluasan makna terhadap pasal ini perlu ditinjau ulang. Pasal tersebut memberikan peluang dalam rangka persidangan perdata yang dapat dikuasakan kepada kuasa hukum, namun sepanjang fasilitas tidak tersedia dan akses komunikasi yang terbatas, maka tidak akan memberikan solusi bagi para pencari keadilan yang statusnya sebagai tahanan atau narapidana. Maka perlu dimaknai orang tertentu salah satunya adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara perdata yang sedang diproses. Tujuannya adalah memberikan akses yang seluas-luasnya namun terbatas dengan memberikan hak konstitusinya dalam persidangan.
Hak-hak lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakata salah satunya adalah keperdataan. Pasal 52 menegaskan bahwa :
(1) Hak keperdataan lainnya dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi :
-
surat menyurat dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya;
-
izin keluar LAPAS dalam hal-hal luar biasa.
(2) Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dapat mengirim surat keluar LAPAS dan menerima surat dari luar LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a;
(3) Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dapat diberi izin keluar LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b;
(4) Izin ke luar LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan oleh Kepala LAPAS;
Apabila secara konstitusional hak-hak tersebut telah diatur sedemikian rupa, maka tahanan atau narapidana memiliki hak yang sama dalam memperjuangkan haknya di persidangan pada perkara perdata. Proses jawab jinawab dalam persidangan perdata meskipun tahanan atau narapidana dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan sepanjang fasilitas tersedia dan dilindungi oleh hukum. Pelaksanaan yang dapat dilakukan secara virtual maka akan memberikan kemudahan bagi tahanan atau narapidana dalam rangka memperjuangkan hak-hak keperdataannya dalam persidangan.
Pasal 27 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatur bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak Asasi Manusia sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimaknai bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Kemudian ditegaskan lagi pada amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia, ini menandakan bahwa negara kita telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada harkat dan martabat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hak asasi manusia dalam penegakan hukum harus bersandar pada asas-asas hukum. Asas materiil adalah yang berikut ini:
-
asas respek terhadap kepribadian manusia sebagai demikian, yang dikonkritisasikan lebih lanjut dalam;
-
asas respek terhadap aspek-aspek kerohanian dan kejasmanian dari keberadaan sebagai pribadi, yang dipikirkan dalam hubungannya dengan pribadi-pribadi lain memunculkan;
-
asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel), yang menuntut timbal balik dan memunculkan;
-
asas pertanggungjawaban. Dua asas terakhir menentukan struktur masyarakat dan memunculkan;
-
asas keadilan.
Disampingnya terdapat tri-asas hukum formal, yaitu asas konsistensi logical, asas kepastian, dan asas asas persamaan.
Sehingga berdasar pada asas-asas hukum maka dalam rangka muatan materi dalam undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan dapat dinyatakan bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung salah satunya adalah asas pengayoman dimana peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat. Selain daripada itu adalah keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum yang artinya harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali dan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Oleh karenanya dalam rangka menjamin terpenuhinya hak tahanan atau narapidana maka perlu adanya konstruksi hukum acara perdata yang mengakomodir hak-hak para pihak dalam persidangan khususnya tahanan atau narapidana berhadapan dengan hukum perdata.
Pondasi dalam penegakan hukum harus mengacu pada 3 aspek dasar landasan hukum yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Oleh karenanya setiap regulasi perundang-undangan harus memenuhi ketiga unsur tersebut.
Kaitannya dengan hak keperdataan tahanan dan narapidana perlu dijadikan sorotan khususnya dalam rangka menegakkan keadilan atas hak-hak keperdataannya. Kehilangan kemerdekaan tidak membatasi hak keperdataan tahanan atau narapidana.
Oleh karenanya pemerintah harus hadir dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan tahanan atau narapidana yang berada dalam binaan Lemabaga Pemasyarakatan. Salah satunya hak yang harus terpenuhi, terkait dengan kehadiran dalam membela haknya dalam persidangan perdata (khususnya perkara perkawinan). Hak menghadiri persidangan dan melakukan segala proses jawab jinawab dalam persidangan merupakan hak mutlak bagi siapa pun yang dianggap sebagai pihak berperkara.
Jaminan atas kehadirannya dalam persidangan perlu menjadi pertimbangan bagi aparat penegak hukum. Keterbatasan dalam ruang tahanan atau lembaga pemasyarakatan harus ditemukan solusi atau regulasi baru sehingga para tahanan atau narapidana dapat menghadiri persidangan secara langsung atau virtual.
Mengurangi angka perceraian sebagaimana alasan perceraian salah satunya dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus seimbang sebagaimana pihak-pihak yang tidak sedang menjalani masa tahanan. Proses mediasi dan mendamaikan para pihak harus ditegakkan sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
5. Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai penutup tulisan ini, sebagai berikut:
-
Tahanan ataupun Narapidana yang sedang menjalani masa hukumannya didalam Lapas, hak-haknya termasuk hak keperdataan diatur dan di jamin dalam regulasi baik berupa UU maupun PP, seperti dalam Bab IV bagian kesatu PP no. 58 Tahun 1999, pasal 14 UU no. 12 tahun1995, serta pada pasal 51 dan 52 PP no. 32 Tahun 1999.
-
Namun meskipun demikian, belum ada ketentuan dalam peraturan perundangan yang mengatur tentang Tahanan atau Narapidana untuk dapat menghadiri persidangan perceraian. Sehingga hal ini yang menjadi acuan bagi pihak Lapas untuk tidak memberikan Tahanan atau Narapidana hak untuk menjalani proses perkara perdata yang sementara dihadapi.
-
Kepala Lapas atau Rutan boleh mengambil kebijakan terhadap Narapidana untuk mengikuti persidangan perceraian namun dengan tetap melalui mekanisme sidang tim pengamat pemasyarakatan serta pengawalan Polisi. Ataupun melalui opsi persidangan secara virtual didalam lapas atau rutan.
Oleh : Darsono
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Riau
Email : [email protected]