Menilik Perjalanan Kehidupan Pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Al Asy’ari
RIAU24.COM - KH Hasyim Asy’ari merupakan ulama asal Indonesia yang juga termasuk dalam salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Nama lengkapnya Muhammad Hasyim bin Asy'ari bin Abdul Halim, lahir di Desa Tambakrejo, Jombang, pada 14 Februari 1871.
Selain merupakan pendiri NU, KH Hasyim Al Asy'ari juga merupakan pencetus fatwa resolusi Jihad yang mendasari pertempuran di Surabaya tahun 1945.
Pendiri NU ini juga merupakan pendiri Pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai pembaharu pendidikan pesantren di Indonesia. Selain mengajar agama di pesantren, KH Hasyim Al Asy'ari juga mengajar santri membaca buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Lahir di Pondok Gedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875, keluarganya telah memimpin pesantren secara turun-temurun.
Ayah KH Hasyim Al Asy'ari adalah Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras di selatan Jombang. Sedangkan ibunya Halimat, merupakan keturunan Prabu Brawijaya VI, yang juga dikenal sebagai Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang.
Menurut Chairul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (2005), silsilahnya yaitu: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Joko Tingkir (Karebet) bin Prabu Brawijaya VI (Lembu Peteng).
KH Hasyim Al Asy'ari tidak hanya dikenal sebagai pendiri NU, namun juga salah satu tokoh yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Waktu dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy'ari, Ibunya Halimah bermimpi melihat bulan purnama jatuh ke dalam rahimnya.
Sewaktu kecil ia tinggal bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, hal ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti orang tuanya yang pindah ke Desa Keras yang terletak di sebelah selatan Jombang, dan di desa tersebut Kiai Asy'ari mendirikan pesantren bernama Asy'ariyah.
Memiliki prinsip belajar sejak dini dan lingkungan kehidupannya yang mendukung yaitu tinggal di lingkungan pesantren, sehingga wajar jika nilai-nilai pesantren sangat meresap dalam dirinya, begitu juga dengan nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayah dan ibunya memberikan bimbingan kepada mereka. santri, dan bagaimana santri hidup sederhana penuh keakraban dan gotong royong.
Budaya dalam keluarganya itulah yang mengawali dirinya pertama kali belajar ilmu agama dari kakek dan neneknya. Kampung Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini awalnya ia mendapat pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu adalah pendiri dan pengurus Pondok Pesantren Asy'ariyah.
Pada usia 15 tahun, KH Hasyim Al Asy'ari memutuskan untuk mengembara ke Berbagai Pesantren. Muhammad Hasyim memulainya dengan menimba ilmu di pesantren ternama di Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tenggilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban, kemudian Bangkalan, Madura.
Setelah kurang lebih lima tahun belajar di Madura tepatnya tahun 1307 H/1891 M, akhirnya ia kembali ke Jawa, belajar di pondok pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, di bawah bimbingan KH Ya'qub yang terkenal dengan ilmunya. ilmu nahwu dan shorof. Selang beberapa waktu, Kiai Ya'qub semakin dekat dengan santri tersebut dan semakin tertarik untuk menjadi menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M, Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya'qub. Tidak lama setelah melangsungkan pernikahan, ia kemudian berangkat ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Selain menunaikan ibadah haji, di Mekkah ia juga memperdalam ilmu yang sudah dimiliki, dan menyerap ilmu baru yang dibutuhkan.
Sayangnya, karena berbagai alasan, pernikahan tersebut tidak berlangsung lama sehingga Kiai Hasyim kembali ke Jombang. Saat berada di Jombang, ia berencana membangun pesantren, yang ia pilih bertempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu menjadi sarang pembangkangan dan kekacauan. Pilihan tersebut tentu saja menuai tanda tanya besar di kalangan masyarakat, namun semua itu diabaikan.
Pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M, Pesantren Tebuireng didirikan bersama rekan-rekan seperjuangannya, seperti Kyai Abbas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kerep, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesulitan dan ancaman dari pihak-pihak yang terlibat.
KH. M. Hasyim Asy'ari memulai tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaannya yaitu penyelesaian kitab shahihain “Al-Bukhari dan Muslim” yang diadakan setiap bulan suci Ramadhan yang konon dihadiri ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh Jawa. Tradisi ini berlanjut hingga sekarang.
Awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah menjadi ratusan orang, bahkan sampai akhir hayat mencapai ribuan, alumni Pondok Tebuireng yang berhasil menjadi ulama besar dan menjadi pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi pusat pesantren.
Kerinduan akan Tanah Suci rupanya memanggilnya untuk kembali ke Mekkah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau kembali ke Tanah Suci bersama adiknya, Anis. Kenangan indah sekaligus sedih kembali terlintas saat kakinya menginjak Tanah Suci Mekkah. Namun justru menimbulkan semangat baru untuk lebih bertakwa dalam beribadah dan mendalami ilmu.
Selain aktif mengajar, beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik lokal maupun nasional. Pada tanggal 16 Sa'ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang, Jawa Timur, didirikan Jam'iyah Nahdlotul Ulama' (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama besar lainnya, seperti Imam Muhammad bin Idris Al Syafi'i, Imam Malik bin Anas , Imam Abu Hanifah An-Nu'am dan Ahmad bin Hambali.
KH. Hasyim Asy'ari terpilih menjadi rois akbar NU, gelar yang kini tak dimiliki siapa pun. Ia juga menyusun qanun dasar NU yang mengembangkan ideologi Ahli Sunnah wal jama'ah. Nahdlatul ulama 'sebagai ikatan ulama' di seluruh Indonesia dan mengajarkan jihad untuk keyakinan dengan sistem yang terorganisir.
Memang tidak mudah menyatukan para ulama' yang berbeda pandangan, namun bukan Kiai Hasyim yang menyerah begitu saja, ia melihat perjuangan yang dilakukan seorang diri akan membuka peluang yang lebih besar bagi musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan cahaya. dan syi'ar Islam di Indonesia, saling bertikai.
Beliau adalah orang yang tajam dan berpandangan jauh ke depan dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapi oleh umat Islam, maka dari itu beliau berpikir untuk mencari jalan keluar dengan membentuk organisasi dengan yayasan yang dapat diterima oleh ulama ulama lainnya.