Papua Nugini Sebut Lebih dari 2.000 Orang Terkubur Hidup-hidup dalam Tanah Longsor Paling Mematikan Abad Ke-21
RIAU24.COM - Pemerintah Papua Nugini mengatakan bahwa tanah longsor Jumat lalu (24 Mei) telah menewaskan lebih dari 2.000 orang sejauh negara di Pasifik barat daya secara resmi meminta bantuan global.
Angka korban melampaui tragedi tanah longsor Southern Leyte, Filipina 2006 di mana total 1.126 orang kehilangan nyawa mereka ketika puing-puing mengalir dari tanah longsor setelah 10 hari hujan lebat.
Dengan lebih dari 2.000 orang dilaporkan tewas oleh pemerintah Papua Nugini, tanah longsor 24 Mei kini telah muncul sebagai tanah longsor paling mematikan di abad ke-21.
Angka pemerintah sekitar tiga kali lebih banyak dari perkiraan PBB sebesar 670.
Dalam sebuah surat kepada koordinator penduduk PBB, penjabat direktur Pusat Bencana Nasional negara kepulauan Pasifik Selatan itu mengatakan tanah longsor itu mengubur lebih dari 2.000 orang hidup-hidup dan menyebabkan kehancuran besar.
Organisasi Internasional untuk Migrasi, yang bekerja sama dengan pemerintah negara itu, belum mengubah perkiraan jumlah korban tewas 670 yang dirilis pada hari Minggu, sambil menunggu bukti baru.
"Kami tidak dapat membantah apa yang disarankan pemerintah tetapi kami tidak dapat mengomentarinya," kata Serhan Aktoprak, kepala misi badan migran PBB di Papua Nugini seperti dikutip oleh Associated Press.
"Seiring berjalannya waktu dalam usaha besar seperti itu, jumlahnya akan tetap cair," tambah Aktoprak.
Mana dan menteri pertahanan Papua Nugini, Billy Joseph, terbang pada hari Minggu dengan helikopter militer Australia dari ibukota Port Moresby ke Yambali, 600 kilometer (370 mil) ke barat laut, untuk mendapatkan perspektif langsung dari skala tragedi itu.
Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk memutuskan apakah pemerintah Papua Nugini perlu secara resmi meminta lebih banyak dukungan internasional.
Peralatan pemindah tanah yang digunakan oleh militer Papua Nugini sedang diangkut ke lokasi bencana 400 kilometer (250 mil) dari kota pantai timur Lae.
Para pejabat yang dikutip oleh Associated Press mengklaim bahwa penduduk desa terbagi atas apakah alat berat harus diizinkan untuk menggali dan berpotensi merusak lebih lanjut mayat kerabat mereka yang terkubur.
(***)