Kisah Kematian Paling Mengerikan di Dunia, Tubuh 'Meleleh' gegara Radiasi
RIAU24.COM - Hisashi Ouchi pada tahun 1999 meninggal dunia dengan cara yang mengerikan dalam kecelakaan nuklir di Jepang. Pada saat itu, Ouchi bekerja di sebuah fasilitas pengolahan bahan bakar nuklir di Desa Tokai, Prefektur Ibaraki.
Sebelum akhirnya meninggal pada 21 Desember 1999, Ouchi sempat dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Korban lainnya bernama Masato Shinohara juga meninggal dunia juga meninggal pada 27 April 2000 karena gagal organ.
Dikutip dari Tokyo Weekender, Ouchi dilaporkan terpapar radiasi sebanyak 17 sievert. Jumlah tersebut tiga kali lipat dosis yang dianggap mematikan bagi manusia.
Kejadian tersebut berawal pada 30 September 1999 pada pukul 10 pagi, Ouchi dan Shinobara memasuki area pemrosesan pabrik. Bersama seorang pengawas bernama Yutaka Yokokawa di ruang berbeda, Ouchi dan Shinobara ditugaskan untuk menyiapkan sejumlah kecil bahan bakar untuk reaktor pembiak cepat eksperimental bernama Joyoi dengan uranium yang diperkaya hingga 18,8 persen U-235.
Ouchi dan Shinobara terbiasa bekerja dengan kadar kurang dari 5 persen. Mereka juga tidak memiliki pelatihan normal untuk tugas tersebut dan menyadari bahwa pedoman pengoperasian tidak disetujui oleh Badan Sains dan Teknologi.
Karena adanya tekanan untuk memenuhi permintaan pengiriman, pekerja mempercepat prosesnya di luar prosedur. Saat itu mereka melihat kilatan cahaya biru hasil dari radiasi Cerenkov, yang merupakan ekuivalen elektromagnetik dari ledakan sonik.
Ketika alarm berbunyi, ketiga pekerja sempat melarikan diri ke ruang dekontaminasi sebelum akhirnya dibawa ke Institut Nasional Ilmu Radiologi di Chiba.
Dalam buku yang ditulis tim jurnalis NHK, Ouchi menjadi orang yang paling dekat dengan tangki. Ia dipindahkan dari Chiba ke RS Universitas Tokyo beberapa hari setelah kecelakaan.
Ketika tiba di sana, Ouchi masih bisa berbicara. Matanya mengalami merah dan wajahnya sedikit membengkak, tapi tidak memiliki luka lepuh. Kondisi Ouchi semakin memburuk namun dokter tidak tahu bagaimana cara menyelamatkannya.
Seiring berjalannya waktu, ia mengalami kerusakan parah pada organ-organ dalamnya dan jumlah sel darah putihnya hampir nol.
Bentuk pengobatan baru berupa transplantasi sel punca perifer sempat dilakukan. Hal tersebut dilakukan dalam upaya untuk memulihkan sistem kekebalannya yang hancur.
Sel-sel dari sumsum tulang belakang saudara perempuannya diberikan. Meskipun awalnya sempat ada harapan, radiasi di tubuh Ouchi akhirnya menghancurkan sel-sel punca yang dimasukkan.
Untuk menjaga Ouchi tetap hidup, dokter memompa sejumlah darah dan cairan ke dalam tubuhnya setiap hari. Namun, kondisinya terus memburuk. Kulitnya bahkan mulai 'meleleh' dan darah keluar dari matanya.
Tes menunjukkan paparan radiasi telah menghancurkan kromosom atau DNA yang biasanya memungkinkan kulit untuk beregenerasi. Ia pun menjadi satu-satunya manusia yang hidup tanpa DNA.
Akibatnya epidermis atau lapisan luar yang melindungi tubuh secara bertahap menghilang. Rasa sakit yang dialaminya pun menjadi intens.
Dia mulai mengalami masalah pernapasan juga. Dua minggu setelah kecelakaan itu, dia tidak lagi bisa makan, dan harus diberi makan lewat infus. Lalu dua bulan setelah cobaan beratnya, jantungnya berhenti, meski dokter mampu menghidupkannya kembali.
Pada akhir November ia sempat mengalami gagal jantung selama lebih dari satu jam, sampai akhirnya ia meninggal pada Desember 1999.
Seminggu setelah kematian Ouchi, kondisi Shinohara sempat membaik, bahkan ia sudah bisa menghirup udara segar untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan dirawat. Namun, pada Februari Shinohara mengalami masalah pernapasan parah hingga dipasangi respirator.
Menurut dokter, tubuh Shinohara rusak akibat radiasi. Namun hebatnya Shinohara berhasil bertahan hidup selama kurang lebih 83 hari sebelum akhirnya meninggal karena gagal organ.
Sedangkan Yokogawa yang mendapatkan radiasi 3 sievert diperbolehkan pulang setelah tiga bulan dirawat. Ia ditangkap karena gagal mengawasi prosedur tepat. ***