Gara-gara Pilih Cara Ini untuk Atasi Penyebaran Corona, Jokowi Malah Dinilai Blunder, Begini Penjelasannya
RIAU24.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai melakukan blunder dalam wabah virus Corona di Tanah Air. Hal itu terkait pernyataannya yang mengatakan pembatasan sosial skala besar perlu diterapkan saat ini. Tak hanya itu, kebijakan itu juga perlu disertai dengan penetapan darurat sipil.
Seperti dituturkan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Hermawan Saputra, kebijakan itu disebut sudah dilakukan sejak dua pekan lalu.
"Saya melihat pemerintah melakukan analisis yang gegabah sekali dengan ber-statement yang menurut saya blunder lagi yang disampaikan Pak Presiden. Apa sebab? Pembatasan sosial secara luas itu sebenarnya sudah dilakukan secara informal walaupun tidak dalam bentuk kebijakan yang kuat, tetapi yang dimaksud pembatasan sosial skala besar adalah mulai meliburkan sekolah, meliburkan kegiatan-kegiatan di kantor, termasuk kegiatan keagamaan. Sudah dilakukan semua, kan," lontarnya, Senin (30/3/2020) tadi malam.
Namun lebih jauh dari itu, Hermawan juga menyesalkan Jokowi menyinggung soal penerapan darurat sipil. Sebab menurutnya hal itu sama sekali tak relevan dengan penanganan Corona di Indonesia.
"Nah, tetapi kalau poin berikutnya tentang kedaruratan sipil, itu lebih berbahaya lagi menurut saya. Itu saya menyampaikan, itu bisa salah acu, salah arah, dan salah sasaran. Apalagi nanti kalau mengaitkannya dengan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 berkaitan dengan kedaruratan sipil. Itu produk zaman demokrasi terpimpin di era Presiden Sukarno dengan situasi politik," tegasnya.
"Di dalam pasal 17 dan seterusnya itu berkaitan dengan pembatasan individu, bukan lagi pengendalian penyakit, tapi bergeser pada pengendalian individu dan pembatasan aktivitas penduduk," tambahnya.
"Di mana telepon alat komunikasi semuanya bisa disadap, ruang-ruang demokrasi bisa menjadi mandek. Artinya penggunaan apalagi Perppu 1959 sama sekali tidak relevan dengan COVID-19. Yang lebih tepat ini gunakan saja UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, clear dan up to date," tegasnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya belajar dari negara-negara lain yang sukses menekan bertambahnya angka kasus positif Corona. Ia mengambil contoh China yang sukses di Wuhan hingga Malaysia dan Singapura.
Kok tak Gunakan Aturan Sendiri?
Senada dengannya, ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril, juga mengaku tidak habis pikir dengan rencana Presiden Jokowi dalam menerapkan darurat sipil tersebut. Padahal, Jokowi menandatangani UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum menanggulangi wabah penyakit.
"Entah mengapa Perppu 1959 yang dirujuk. Padahal ada regulasi UU Penanggulangan Bencana tahun 2007 dan UU yang dibuat oleh Presiden Jokowi yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," terangnya, Selasa 31 Maret 2020, dilansir detik.
Lebih lanjut, Oce mengatakan, dalam Perpu 1959 itu dikenal 3 darurat yaitu Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang. Setiap jenis Darurat memiliki tujuan, syarat-syarat dan konteks yang berbeda.
"Syarat-syarat keadaan bahaya dengan berbagai tingkatan Darurat itu ada dalam Pasal 1 Perppu. Semua mengarah pada terancamnya keamanan/ketertiban oleh pemberontak, kerusuhan, bencana, perang, membahayakan negara, tidak dapat diatasi oleh alat perlengkapan negara secara biasa," ujar Oce.
Karena itu, Oce merasa heran, apa pasalnya hingga Jokowi merujuk Darurat Sipil yang tertuang dalam peraturan Orde Lama.
"Apakah karena beban tanggung jawab pemerintah yang berat dalam UU Kekarantinaan Kesehatan-seperti menanggung kebutuhan dasar rakyat - kalau pakai Perppu memang nggak ada bebannya," ucap doktor hukum dengan disertasi soal pemberantasan korupsi di era 7 presiden di Indonesia itu.
Menurut Oce, Darurat Sipil mengarah ke penertiban. Sedangkan UU Kekarantinaan Kesehatan mengarah ke 'menjamin kebutuhan dasar rakyat'.
"Pilih mana?" cetus Oce.
Dala, hal ini, Oce meminta Jokowi konsisten terhadap UU Kekarantinaan Kesehatan yang ditandatangani Jokowi sendiri. Apalagi, UU itu memiliki naskah akademik dan dibuat dengan serius.
"Ikuti logika UU ini. UU Kekarantinaan Kesehatan ini bertanda tangan Presiden Jokowi lho. Beda dengan UU KPK yang tidak ditandatangani," sindirnya.
Sebelumnya, Jokowi menyatakan saat ini pembatasan sosial skala besar perlu diterapkan. Kebijakan itu perlu disertai dengan darurat sipil.
"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi," demikian kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19 yang disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3/2020).
"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi.
Terkait hal itu, pihak Istana menjelaskan darurat sipil merupakan opsi terakhir yang akan diambil pemerintah. "Darurat sipil itu pilihan paling terakhir. Jika dalam pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar ini menimbulkan pembangkangan atau terjadi kekacauan sosial, pilihan darurat sipil menjadi jalan," kata Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi KSP, Juri Ardiantoro. ***