Fakta-fakta Mencengangkan Perputaran Duit ACT: Donasi Dibisniskan Dulu hingga Transfer ke 10 Negara
RIAU24.COM - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menghentikan sementara 60 rekening atas nama Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Rekening itu terdapat di 33 penyedia jasa keuangan.
"Per hari ini PPATK menghentikan sementara transaksi atas 60 rekening atas nama entitas yayasan tadi di 33 penyedia jasa keuangan. Jadi ada di 33 penyedia jasa keuangan sudah kami hentikan," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam konferensi pers, Rabu (6/7/2022).
Hal ini buntut dari Yayasan ACT yang sedang jadi sorotan karena dituding tilap dana sumbangan. Kementerian Sosial juga sudah mencabut izin pengumpulan uang dan barang (PUB).
Ivan menyebut pihaknya telah melakukan analisis terkait Yayasan ACT sejak 2018-2019 sesuai kewenangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Perpres Nomor 50 Tahun 2011. Aktivitas dana masuk dan dana keluar atas entitas tersebut nilainya mencapai hingga triliunan per tahun.
"Jadi dana masuk dana keluar per tahun itu perputarannya sekitar Rp 1 triliun, jadi bisa dibayangkan itu memang banyak," ujarnya.
Daftar 3 Fakta Perputaran Duit ACT:
1. Uang Donasi ACT 'Diputar' Dulu
PPATK menduga dana yang dikelola Yayasan ACT bersifat business to business. Jadi dana yang dihimpun tidak langsung disalurkan ke pihak yang membutuhkan, melainkan dikelola dalam bisnis terlebih dahulu.
"Ada transaksi memang yang kita lihat itu dilakukan secara masif tapi terkait dengan entitas yang dimiliki oleh si pengurus tadi. Jadi kita menduga ini merupakan transaksi yang dikelola dari business to business, jadi tidak murni penerima menghimpun dana kemudian disalurkan, tapi kemudian dikelola dulu dalam bisnis tertentu," tutur Ivan. Dari dana yang dikelola itu, kata Ivan, Yayasan ACT mendapat keuntungan. "Di situ tentunya ada revenue, ada kentungan dan ini PPATK terus melakukan penelitian," ujarnya.
2. Dana ACT Mengalir ke Luar Negeri
PPATK mengungkap ada transaksi yang dilakukan Yayasan ACT ke sejumlah negara. Ada 10 negara paling besar menerima dana masuk maupun keluar.
"Berdasarkan periode laporan 2014 sampai 2022 terkait entitas yang kita diskusikan ini PPATK melihat ada sekitar 10 negara yang paling besar terkait incoming nerima maupun keluar," kata Ivan.
PPATK mendeteksi selama periode tersebut ada 2.000 kali pemasukan dari entitas asing ke ACT senilai lebih dari Rp 64 miliar. Di sisi lain, ada juga dana keluar yang diterima negara tersebut senilai Rp 52 miliar. "Ada lebih dari 2.000 kali pemasukan dari entitas asing kepada yayasan ini angkanya di atas Rp 64 miliar. Ada dana keluar tentunya dari entitas ini ke luar negeri itu lebih dari 450 kali, angkanya Rp 52 miliar sekian. Jadi memang kegiatan dari entitas yayasan ini ada terkait dengan aktivitas di luar negeri," tuturnya.
Ivan menjelaskan 10 negara yang dimaksud adalah Jepang, Turki, Inggris, Malaysia, Singapura, Amerika, Jerman, Hong Kong, Australia, hingga Belanda. Ada potongan yang dilakukan dalam transaksi. "Kepada pihak-pihak tertentu dipotong nilainya paling rendah itu Rp 700 juta ke atas itu kita melihat ada 16 entitas di dalam negeri, individu maupun lembaga asing yang menerima dana dan teraliri atau pihak terafiliasi. Kemudian 10 negara terbesar yang terafiliasi dana keluar antara lain itu adalah Turki, China, Palestina, dan beberapa negara lain, itu yang paling besar," imbuhnya.
3. Karyawan ACT Transfer Duit ke Luar Negeri
Selain transaksi dilakukan atas nama yayasan, PPATK melihat ada beberapa karyawan mulai dari level admin hingga staf akuntan ACT secara sendiri-sendiri melakukan transaksi ke beberapa negara. Kepentingannya apa, masih diteliti lebih lanjut. Ivan menjelaskan salah satu pengurus ACT pernah mengirim dana hampir Rp 500 juta ke beberapa negara pada periode 2018-2019. "Seperti ke Turki, Kazakhstan, Bosnia, Albania dan India. Beberapa transaksi dilakukan secara individual oleh para pengurus," sebutnya.
Ivan juga mengatakan selama dua periode tersebut salah satu karyawan ACT melakukan transaksi dengan nominal mencapai Rp 1,7 miliar. Dana itu dikirim ke negara-negara berisiko tinggi.
"Pengiriman dana ke negara-negara berisiko tinggi dalam hal pendanaan terorisme seperti beberapa negara yang ada di sini dan 17 kali transaksi dengan nominal Rp 1,7 miliar antara Rp 10 juta sampai Rp 552 juta. Jadi kita melihat masing-masing juga melakukan kegiatan sendiri-sendiri ke beberapa negara," bebernya.