Krisis Kesepian Jepang Memiliki Hampir 1,5 Juta Penyendiri Sosial
RIAU24.COM - Hampir 1,5 juta orang Jepang usia kerja hidup menyendiri. Pengungkapan itu terlihat dalam survei pemerintah terkait dengan perasaan tertutup anak muda Jepang dan menunjukkan realitas demografis Jepang yang semakin menipis.
Orang yang menghindari kontak sosial disebut Hikikomori di Jepang. Dari hasil survei memperlihatkan akun Hikikomori sebanyak 2 persen orang berusia 15-62.
Mengapa orang Jepang memilih isolasi sosial?
Survei pemerintah mengatakan bahwa sejumlah besar Hikikomori mulai mundur dari masyarakat arus utama karena masalah hubungan dan setelah kehilangan atau meninggalkan pekerjaan mereka.
Seperlima dari orang yang disurvei mengatakan bahwa perasaan isolasi diri mereka berasal dari perubahan gaya hidup akibat pandemi Covid.
Kantor kabinet mensurvei 30.000 orang berusia antara 10 dan 69 tahun di seluruh Jepang November lalu. Jajak pendapat menemukan bahwa lebih dari seperlima responden berusia 15-39 telah terisolasi secara sosial dari enam bulan hingga kurang dari setahun.
Lebih dari 20 persen mengatakan mereka pernah mengalami masalah dengan hubungan interpersonal, sementara lebih dari 18 persen mengutip pandemi.
Di antara orang-orang dalam rentang usia 40-64 tahun, 44,5 persen mengatakan perilaku mereka dipicu oleh meninggalkan pekerjaan mereka, diikuti oleh 20,6 persen yang mengutip pandemi.
Menyadari tantangan meningkatnya isolasi sosial di kalangan anak muda, beberapa otoritas lokal telah bereaksi.
Edogawa, sebuah distrik di Tokyo, mengatakan bahwa mereka akan mengadakan acara sosialisasi metaverse mulai Juni untuk memberi hikikomori kesempatan untuk bertemu orang-orang melalui avatar mereka.
Bangsal ini dilaporkan menampung lebih dari 9.000 orang, termasuk siswa yang telah berhenti menghadiri kelas, beberapa di antaranya menggambarkan diri mereka sebagai hikikomori.
"Kami tidak berpikir semuanya akan diselesaikan hanya karena kami menawarkan metaverse. Ini mungkin akan membantu bagi sebagian orang," kata walikota bangsal, Takeshi Saito, kepada Mainichi Shimbun.
"Kami menargetkan mereka yang tidak bisa meninggalkan kamar mereka dan belum berinteraksi dengan orang lain. Kami ingin membantu mereka mengambil langkah maju," imbuhnya.
(***)