Aktivis HAM Tak Terima Nama Soeharto Dihapus dari TAP MPR dan Wacana Beri Gelar Pahlawan Nasional
RIAU24.COM -Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menghapus nama Presiden kedua Soeharto dari Ketetapan MPR soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang diiringi dengan wacana memberikan gelar pahlawan nasional disebut sebagai sebuah penghinaan bagi keluarga penyintas pelanggaran HAM berat masa lalu.
Uchikowati Fauzia, yang ibunya ditahan selama tujuh tahun tanpa diadili karena dianggap terlibat G30S pada 1965, mengaku sangat kecewa dengan keputusan itu.
“Saya tidak bisa menerima keputusan [MPR]. Itu sebuah penghinaan karena tidak mengembalikan martabat kami, tidak memanusiakan korban sebagai manusia,” kata Uchikowati saat dihubungi BBC News Indonesia, Minggu (29/09).
Senada, keluarga korban 1965 lain, Pipit Ambarmirah mengatakan rangkaian upaya itu akan membenarkan “dosa-dosa” masa lalu Soeharto, berdampak pada praktik impunitas yang semakin kuat di masa depan.
“Soeharto itu bukan pahlawan, dia penjahat. Ketika dia menjadi pahlawan maka apa yang dilakukan dengan membunuh dan memenjarakan banyak orang hingga menghancurkan hidup satu generasi, itu menjadi tidak apa-apa,” kata Pipit.
Penolakan juga datang dari beragam aktivis kemanusiaan.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII).
Mereka menyebut keputusan MPR berpotensi “memutihkan dosa-dosa Soeharto selama 32 tahun yang dipenuhi dengan dosa kejahatan HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan”.
Sebelumnya, pada rapat paripurna, Rabu (25/09), MPR sepakat menghapus nama Soeharto yang tertulis dalam Pasal 4 Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Sebelum diubah, Pasal 4 itu berbunyi, “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia.”
Beberapa hari setelah keputusan itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam pertemuan dengan keluarga Soeharto mengusulkan agar presiden kedua Indonesia itu dianugerahi gelar pahlawan nasional.
"Rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Soeharto dipertimbangkan oleh pemerintah yang akan datang untuk mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional," kata Bamsoet di Kompleks MPR, Jakarta, Sabtu (28/09).
Perwakilan keluarga Soeharto yang hadir, Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto) dan Siti Hardijanti Rukmana (Tutut Soeharto) mengapresiasi langkah MPR dan juga menyampaikan permintaan maaf jika ayah mereka melakukan kesalahan saat memimpin selama 32 tahun.
(***)