Berobat Pakai BPJS Kesehatan tak Gratis Lagi, Kecaman Keras Pun Datang
RIAU24.COM - JAKARTA- Kecaman keras saat ini tertuju ke BPJS Kesehatan. Hal itu setelah diberlakukannya aturan tentang urun biaya BPJS Kesehatan yang diberlakukan terhadap masyarakat yang terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Kecaman keras itu datang dari BPJS Watch. Seperti dituturkan Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, kebijakan urun biaya itu tidak tepat sasaran. Pasalnya, enyalahgunaan layanan kesehatan tidak hanya datang dari peserta, melainkan juga pihak rumah sakit (RS) dan dokter.
Ia kemudian mengambil contoh, berdasarkan aduan yang diterima BPJS Watch, seorang ibu mengaku pernah dipaksa dokter di sebuah RS untuk melakukan persalinan dengan operasi caesar. Padahal, ia mengklaim mampu melahirkan secara normal.
"Ternyata, kata dokter kalau persalinan caesar yang harganya lebih tinggi, di-cover oleh BPJS Kesehatan. Sedangkan, persalinan normal tidak. Padahal, di-cover juga," terangnya, Senin 21 Januari 2019.
Kepada cnnindonesia.com, Timboel mengatakan, persalinan caesar menjadi salah satu jenis layanan yang membuat BPJS Kesehatan merogoh kocek cukup dalam. Dari catatan yang ada pada pihaknya, pada periode Januari-November 2018, eks PT Asuransi Kesehatan (Persero) tersebut tercatat membayar Rp3,2 triliun untuk membiayai 584 ribu proses persalinan caesar.
Padahal, pada kurun waktu yang sama, pengeluaran untuk sekitar 300 ribu persalinan normal hanya berkisar Rp400 miliar.
Menurutnya, kondisi itu menunjukkan bahwa penyalahgunaan layanan kesehatan juga bisa datang dari dokter atau pihak RS.
Lebih lanjut, pihaknya memang mengecam keras aturan tentang urunan biaya kesehatan tersebut, seperti yang terangkum dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 51 Tahun 2018. Pasalnya, dalam PMK tersebut menimbulkan kesan, seolah-olah peserta BPJS Kesehatan adalah satu-satunya yang harus bertanggung jawab.
Ia kemudian mengkritisi PMK yang diteken Menteri Kesehatan Nila Farida Moeloek tersebut. Di antaranya, terkait keterangan bahwa BPJS Kesehatan bisa menarik biaya patungan 10 persen atau maksimal Rp30 juta untuk layanan rawat inap di atas kelas 1, yang dihitung dari biaya pelayanan dari total tarif INA-CBG.
Sementara, untuk setiap kali kunjungan rawat jalan di RS kelas A dan B, peserta dipatok urun biaya Rp20 ribu dan sebesar Rp10 ribu untuk kunjungan rawat jalan di RS kelas C, D, serta klinik utama. Selai itu peserta BPJS Kesehatan juga membayar paling tinggi Rp350 ribu untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam jangka waktu tiga bulan. Hal itu yang termaktub dalam Pasal 9 PMK tersebut.
Menurut Timboel, seharusnya pemerintah dan BPJS Kesehatan bisa lebih jeli melihat potensi penyalahgunaan layanan. Meskipun ia tak memungkiri penyalahgunaan juga dapat dilakukan oleh peserta.
"Saya menduga ada celah di dokter. Tetapi, BPJS tidak bisa menindaknya selama ini. Jadi, dibebankan ke peserta," ujarnya lagi.
Terburu-buru
Selain tidak tepat sasaran, pihaknya juga menilai aturan urun biaya tersebut diterbitkan secara terburu-buru.
Lihat saja, sampai aturan ini ditandatangani dan keluar pada 14 Desember 2018 lalu, belum jelas apa penyalahgunaan layanan kesehatan yang dimaksud PMK 51/2018.
"Seharusnya, sebelum aturan dibuat pun sudah ada sosialisasi ini. Ini kan tidak. Tiba-tiba muncul saja (PMK 51/2018) dan belum jelas. Lagi-lagi hanya membuat publik terkejut," jelas Timboel.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk memperjelas aturan main urun biaya, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di kalangan peserta. Selanjutnya, harus dilakukan sosialisasi secepatnya.
Apalagi, urun biaya yang diberlakukan tidak kecil. "Dalam aturan itu ada kewajiban urun biaya mencapai 10 persen. Ini angka yang memberatkan. Misalnya saja, persalinan Rp5 juta, itu berarti kena Rp500 ribu. Perlu dasar-dasar persentase kenapa seperti ini?" katanya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf sebelumnya mengakui jenis layanan kesehatan memang belum ditentukan baik oleh institusinya maupun Kementerian Kesehatan. Tapi, ia meyakini aturan main baru ini akan mempengaruhi masyarakat dalam memanfaatkan layanan kesehatan.
Ujung-ujungnya, ia berharap dapat menekan defisit keuangan BPJS Kesehatan.
"Ini contoh saja ya, misalnya sakit flu masuk dalam jenis layanan kesehatan yang bisa menimbulkan penyalahgunaan, lalu orang itu harus bayar lebih kalau harus ke dokter. Jadi, mereka tahan saja dengan beli obat sendiri," terangnya. ***
R24/wan