Jika Harus Adaptasi New Normal, Pemerintah Jujurlah Terlebih Dulu
RIAU24.COM - Pemerintah dituntut untuk berkata jujur akan kondisi yang terjadi saat ini. Apakah mampu atau tidak menghadapi wabah Corona atau Covid-19.
Sebab bisa jadi idiom 'New Normal' agar masyarakat siap hidup berdampingan dengan Covid-19 adalah pelarian pemerintah atau upaya menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam menangani wabah.
zxc1
Hal itulah yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta berdasarkan pers rilisnya, Jakarta, Kamis (28/5/2020).
Sebab, kata Sukamta, belum lama ini pada 21 Mei 2020, Wakil Presiden Ma'ruf Amien menyampaikan permintaan maaf karena virus corona bukan sesuatu yang mudah dihadapi.
"Dalam suasana Idul Fitri tentu kita semua memaafkan. Tetapi tidak cukup hanya minta maaf, yang terpenting pemerintah harus jujur kepada rakyat," jelasnya.
zxc2
Karena protokol beradaptasi dengan tatanan normal baru sudah diterbitkan Kemenkes dan adanya sosialiasi secara masif terhadap protokol ini arahnya jelas adalah pelonggaran PSBB.
"Namun apakah penanganan Covid-19 saat ini sudah semakin terkendali atau wacana "new normal" ini hanya sebagai kedok untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah tangani Covid-19."
Ia pun menjelaskan, ada lima persoalan yang mendasar atas penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah. Pertama, tidak ada kejelasan grand desain penanganan virus corona. Bahkan setelah masa tanggap darurat berjalan hampir 3 bulan tidak jelas tahapan apa saja yang akan dilakukan selain hanya pandai berwacana soal pelonggaran PSBB dan "new normal".
"Padahal kejelasan tahapan itu penting tidak hanya dalam upaya penanganan pandemi tetapi juga menjadi rujukan bagi dunia pendidikan, dunia usaha, pariwisata dalam memulai kembali aktivitasnya," ungkapnya.
Kedua, kata Sukamta, sistem koordinasi. Sejauh ini tidak terlihat jelas garis komando antara presiden, kementerian dan gugus tugas dan pemerintah daerah.
"Hari ini (27/5/2020) Presiden berstatemen menagih lagi jajarannya target uji spesimen 10 ribu per hari yang sudah dia pesan beberapa bulan yang lalu. Pesan ini tidak jelas ditujukan kepada siapa, apakah Menteri Kesehatan atau Gugus Tugas atau menagih dirinya sendiri sebagai komando tertinggi," jelasnya.
Hal ini menunjukkan selama ini tidak ada koordinasi yang baik di pemerintah pusat. Sementara komunikasi dengan daerah juga seperti dalam soal pengaturan transportasi yang simpang siur.
"Sudah begitu Presiden mengatakan daerah harus mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 sebelum menerapkan new normal. Ini kan artinya lempar tanggung jawab."
Ketiga, pernyataan presiden soal menagih target uji spesimen menunjukkan bahwa selama ini tes Covid-19 masih jauh dari optimal, karena hanya 2 kali yang bisa lebih dari 10 ribu uji spesimen.
Sementara angka-angka yang diumumkan setiap sore oleh Jubir Gugus Tugas tidak memberikan gambaran nyata penyebaran virus. Banyak ahli epidemiologi yang mengkritik soal ini.
"Artinya kurva Covid-19 yang tersaji hingga saat ini tidak bisa menjadi rujukan dalam membuat kebijakan pelonggaran karena masih terbatasnya pengujian yang dilakukan."
Keempat, ada kesenjangan sarana prasaran kesehatan di setiap daerah dan juga SDM tenaga kesehatan. Rasio jumlah tempat tidur rumah sakit di tahun 2018 hanya 1 dibanding 1000 penduduk.
"Di Korea Selatan rasio 11 dibanding 1000 penduduk. Sementara Presiden meminta Puskemas untuk lebih dilibatkan dalam penanganan Covid-19 namun baru 33 persen yang kondisinya memadai," ungkapnya.
Artinya fasilitas kesehatan yang ada saat ini tidak memadai untuk menghadapi lonjakan jumlah pasien positif, belum lagi soal ketersediaan APD yang banyak dikeluhkan oleh rumah sakit hingga hari ini.
Terakhir, kata Sukamta, pelaksanaan PSBB di berbagai daerah tidak optimal dan banyak pelanggaran terjadi. Ini bisa dibaca tingkat kedisiplinan masyarakat masih rendah. Apakah dengan kondisi masyarakat seperti ini akan siap dengan protokol kesehatan yang ketat.
"Jadi sangat penting kejujuran pemerintah dalam situasi saat ini, seberapa jauh berbagai persoalan mendasar yang kami sebut tadi sudah tertangani dengan baik."
"Dan kurangi komentar yang bernada meremehkan oleh pihak Pemerintah sebagaimana pak Menko Polhukam kemarin (26/5/2020) yang menyebutkan kematian akibat kecelakan dan diare lebih banyak dibandingkan Virus Corona. Komentar-komentar seperti ini bisa mendorong masyarakat menjadi permisif dan akhirnya mengurangi kewaspadaan."