Tanggapi Omnibus Law, Natalius Pigai: Jokowi Hidupkan UU Perbudakan yang Sudah Mati di Abad ke-20
RIAU24.COM - Natalius Pigai, aktivis Hak Asasi Manusia asal Tanah Papua mengatakan presiden Jokowi telah menghidupkan Undang-undang perbudakan yang telah mati pada abad ke-20.
Hal ini dikatakan Pigai menanggapi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020.
Pigai mengatakan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan UU Perbudakan yang telah lama mati dan ditinggalkan di dunia.
Itu UU perbudakan. Di Amerika sejak 1863 sudah digugat Dress Cot di MA Federal. 1865 Revolusi Sosial Amerika & Abraham Lincoln hapus UU Perbudakan. Dan di Indonesia, Jokowi hidupkan UU Perbudakan yang di dunia telah mati dan dikubur di abad ke-20,” kata Pigai seperti dikutip media ini dari akun twitternya.
Sebbelumnya, seperti diberitakan, Nicodemus Wamafma, juru kampanye hutan Papua ‘Greenpeace’ Asia Tenggara Indonesian, mengatakan, praktek pembalakan liar ini adalah penebangan kayu tanpa izin di dalam kawasan hutan yang berijin seperti sawit, HPH dan HTI. Artinya, kata dia, sebenarnya ada praktek korupsi mengambil hasil hutan kayu tanpa izin.
“Masyarakat adat di Papua sebagai pemilik tanah dan hutan harus kehilangan aspek terpenting bagi kehidupan dan masa depannya, karena pengambilan kayu dilakukan secara ilegal,” ujarnya melansir suarapapua.com.
Masifnya pemerintah dalam mengeluarkan izin usaha perkebunan, HP dan HTI apalagi dengan hadirnya RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, kata Wamafma, bukan tak mungkin dalam waktu 30 – 40 tahun hutan alam Papua akan kian berkurang dan ini ancaman sangat serius bagi kehidupan masyarakat adat Papua, praktek kebudayaan dan masa depannya.
“Omnibus Law akan menjadi ancaman serius bagi masyarakat adat Papua, karena pemerintah akan semakin memudahkan mekanisme perizinan berbasis lahan, meniadakan dokumen AMDAL dan memperpanjang waktu perijinan menjadi 90 tahun,” ujarnya.
Menanggapi pengesahan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang baru hari ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan Pengesahan Ciptaker hari ini menunjukkan kurangnya komitmen Pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI untuk menegakkan hak asasi manusia.
“Mereka yang menentang karena substansi Ciptaker dan prosedur penyusunan UU baru ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan. Anggota dewan dan pemerintah, nampaknya, lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini. Sementara hak jutaan pekerja kini terancam,” tuturnya dalam pers release di website amnesty internasional, Minggu, (5/10/2020) lalu.