Karena Gula, Penjajah Betah Berlama-lama di Indonesia
RIAU24.COM - Sudah sejak lama gula tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat, termasuk penjajah.
Dalam jurnal The sugar industry of colonial Java and its global trajectory disebutkan dari tahun 1870 sampai akhir abad ke-19, Jawa merupakan produsen sekaligus eksportir gula tebu terbesar kedua di dunia setelah Kuba.
Kegiatan ekspor gula dari Hindia Belanda tercatat dilakukan di Batavia oleh VOC. Sementara indikasi pembuatan gula kristal di Indonesia pertama kali dilakukan di wilayah Banten.
Hal ini berangkat dari adanya batu silinder di Museum Banten Lama dan lukisan peta Kota Banten tahun 1595.
Cerita diawali ketika Belanda datang ke Indonesia dan mulai melakukan koloni di Pulau Jawa, kebun-kebun tebu monokultur mulai dibuka.
Di tahun 1830 – 1929, pembukaan kebun tebu secara masif dilakukan saat kebijakan sistem tanam paksa diterapkan.
Alhasil, gula menjadi motor penggerak masuknya pundi-pundi keuntungan ke kas negara kolonial.
Sayang, sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel sendiri membawa penderitaan bagi pribumi. Di tengah meningkatnya nilai ekspor gula di tahun 1840 yang mencapai 74,2 gulden, kesejahteraan petani justru terabaikan.
Setelah sistem tanam paksa digantikan oleh kebijakan agraris wet di tahun 1870, pihak swasta akhirnya ikut masuk ke dalam industri gula. Sehingga produksi gula meningkat pesat, namun kehidupan petaninya tak pernah berubah.
Barulah di periode 1900 - 1930, industri gula di tanah Jawa mengalami puncak kejayaannya. Tercatat di tahun 1929, berdiri 164 pabrik dengan produksi mencapai 2,9 juta ton.