Dianggap Bermasalah, MUI Minta Pasal Permendikbud soal Kekerasan Seks Dicabut
RIAU24.COM - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhammad Cholil Nafis meminta Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021 pasal 5 ayat 2 dicabut. Sebagaimana diketahui, Permendikbud Ristek No. 30 ini cukup kontroversial karena dianggap melegalkan zina.
Ia menjelaskan bahwa pasal 5 ayat 2 Permendikbudristek itu bermasalah karena didasarkan pada 'dengan atau persetujuan korban'.
"Permendikbudristek No.30 thn 2021 pasal 5 ayat 2 tentang kekerasan seksual memang bermasalah karena tolak ukurnya persetujuan (consent) korban. … Cabut," kata Cholil dalam akun Twitter pribadinya @cholilnafis, Rabu (10/11).
Cholil Nafis pun menjelaskan bahwa kejahatan seksual menurut norma Pancasila adalah agama atau suatu kepercayaan, bukan atas dasar suka satu sama lain.
"Padahal kejahatan seksual menurut norma Pancasila adlh agama atau kepercayaan. Jadi bukan atas dasar suka sama suka tapi krn dihalalkan. Cabut," tegasnya.
"Jadi bukan atas dasar suka sama suka tapi karena dihalalkan. Cabut," kata Cholil.
Diketahui, Pasal 5 dalam aturan tersebut mengatur rumusan norma kekerasan seksual. Di antaranya mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non-fisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Sementara di Pasal 5 ayat (2) aturan tersebut dijelaskan terdapat beberapa poin bentuk kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan 'tanpa persetujuan'.
Melihat hal itu, MUI mengusulkan agar Pasal 5 ayat (2) terdapat beberapa rumusan yang perlu untuk diubah dan diperbaiki.
Di antaranya Pasal 5 ayat 2 huruf b yang mengatur bahwa "memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban". Frasa itu dapat diubah menjadi "memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja kepada korban".
Alasan perubahannya poin itu karena korban tindak pidana kekerasan seksual dan/atau semua korban tindak pidana tidak pernah diminta persetujuannya untuk menjadi korban kejahatan.
Lalu, Pasal 5 ayat 2 huruf f yang berbunyi "mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban", dapat diubah menjadi " mengambil, merekam, dan atau mengedarkan foto dan atau rekaman audio dan/atau visual yang bernuansa seksual".
Poin itu, disebut MUI harus diubah karena semua proses pembuatan media informasi yang bernuansa seksual itu sejak awal tidak pernah disetujui oleh para calon korban.