Apa yang Terjadi Ketika AS dan Arab Saudi Putuh Hubungan Kerja Sama?
RIAU24.COM - Hubungan antara Amerika Setrikat dan Arab Saudi memburuk usai Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC+) memutuskan mengurangi produksi minyak.
OPEC+ merupakan sebuah organisasi yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia. Badan itu mengurangi produksi minyak hingga dua juta barel per hari untuk menstabilkan pasar energi global.
Keputusan ini dikecam Amerika Serikat. Seorang pejabat AS bahkan sempat meminta Washington untuk menanggungkan penjualan senjata dengan Riyadh.
Pemerintah Presiden Joe Biden bahkan menuduh Saudi mendukung Rusia dengan meningkatkan keuntungan di sektor mintak negara itu dan membuat Moskow bisa membiayai eprang di Ukraina.
Sebagaimana dilansir Middle East Eye, sejak itu hubungan keduanya memanas. AS dilaporkan membatalkan pertemuan dengan Saudi dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), sementara pejabat AS tak diundang ke konferensi investasi Saudi pada akhir bulan ini.
Lalu, apa yang terjadi jika hubungan AS-Saudi semakin buruk?
Seorang pengamat di Institut Brookings, Bruce Riedel, berpendapat bahwa sebelum menentukan posisi antara AS dan Saudi, Biden harus ingat bahwa "mereka [Saudi] jauh lebih membutuhkan kita ketimbang kita membutuhkan mereka," dalam menilai hubungannya dengan Riyadh.
"Saudi seharusnya tahu bahwa mengambil keputusan itu pada saat ini, sebulan sebelum [pemilihan] paruh waktu [di AS], bakal sangat, sangat menyulitkan bagi Joe Biden," kata Riedel.
"Pada akhirnya, hubungan [AS-Saudi] tidak setara. Dan Joe Biden harus mengingat itu ketika mengambil langkah ke depannya," lanjutnya.
Namun, argumen Riedel ini dibantah oleh analis lain, yakni Joanna Held Cummings, yang merupakan pengamat di Institut Timur Tengah (MEI).
"Jika kita merasa frustrasi dan ingin membentuk perubahan, apa jadinya dalam hal hubungan dengan Arab Saudi? Tentu saja, bagaimana itu bisa memengaruhi sekutu dan musuh di kawasan dan tempat lain?" ujar Cummings.
Ganggu Penjualan Senjata AS ke Arab Saudi
Salah satu sektor yang bakal terdampak dari memburuknya relasi AS-Saudi adalah penjualan senjata.
Banyak pejabat partai Demokrat, yang bertahun-tahun mengkritik keputusan Washington menjual senjata ke Riyadh, menandatangi larang penjualan senjata ke kerajaan.
Penyebab mereka menolak penjualan senjata ini adalah pelanggaran hak asasi manusia Saudi dan perang di Yaman.
Di sisi lain, AS dan Saudi memiliki hubungan dekat di bidang militer. Saudi merupakan pembeli terbanyak AS di bidang militer asing.
Saudi dan AS terikat kontrak yang bernilai lebih dari US$100 miliar (Rp10.835 triliun).
Berdasarkan data Institut Riset Perdamaian Internasional Stockholm, sebanyak 70 persen persenjataan Riyadh didapatkan dari Washington.
Pemerintah AS menilai hubungan militer tersebut dapat digunakan untuk mempengaruhi Saudi agar 'tak terlalu dekat' dengan Rusia.
Namun, pengamat keamanan nasional di Institut Timur Tengah Kevin Donegan menilai pemanfaatan itu bisa jadi malah membawa pengaruh buruk bagi AS dan Saudi, pun Negara Teluk lainnya.
"Itu secara umum menimbulkan rasa frustrasi dan seringkali mendukung narasi bahwa AS bukanlah mitra yang dapat diandalkan. Dan dalam kasus ini, di kawasan, mungkin rasa diabaikan bakal semakin kuat," kata Donegan.
Selain itu, Donegan menilai AS harus memperhitungkan pula kemampuan China untuk memengaruhi Negara Teluk.
"Saya sangat setuju kemampuan Rusia untuk ikut campur berkurang, tetapi China tidak," ujarnya.
Hubungan AS-Saudi Bersifat Multilateral, Bukan Bilateral
Sejak AS mengecam keputusan OPEC+, beberapa negara anggota OPEC+ menyuarakan pembelaan mereka atas itu.
Oman dan Bahrain menuturkan keputusan OPEC+ ini dibuat berdasarkan "penelitian teknis" dan "perkembangan pasar."
Melihat dukungan beberapa Negara Teluk ke Saudi, pengamat menilai hubungan AS dan Saudi dapat membawa efek ke negara lain di kawasan itu.
"Harga dari menangguhkan kerja sama keamanan, kita harus melihatnya dengan sangat hati-hati. Apakah kita mau kehilangan pengaruh kita di kawasan itu?" tutur Donegan.
"Kita seharusnya dapat melihat lebih jelas [keputusan] apa yang membawa stabilitas paling besar," lanjutnya.
Donegan juga mengingatkan Biden untuk melihat apa saja yang dipertaruhkan dalam hubungan keamanan negara GCC, pun NATO, sebagai satu kesatuan, bukan kemitraan bilateral.
(***)